WAKTU ITU, menjelang Natal Pertama di penghujung Tahun 2024, menjadi hari yang sangat mengerikan bagi Natasya Hutagalung (21), Mahasiswi Sekolah Tinggi dan Akademi Pemerintahan Masyarakat Desa (APMD) Yogyakarta.
Berawal dari munculnya seorang laki-laki, yang merangsek ke kamarnya di tempat indekos daerah Brotokusuman, Yogyakarta, tepat ketika baru selesai mandi dan byurrrr, air keras yang dibeli di Kawasan Malioboro dilemparkannya ke wajah Tasya yang menghacurkan kulit di bagian dada, sebagian besar tangan kanan, separuh tanan kiri, dan sebagian kakinya.
Kejadiannya tepat juga pada hari ulang tahunnya yang ke-21. Ada seseorang bernama Belly Villsen (25), mahasiswa S2 Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta yang menggunakan jasa eksekutor bernama Satim tega menghancurkan mantan kekasihnya.
Menurut penurutan sang Ibu, sebenarnya yang memutus hubungan adalah Belly, kemudian Belly mengajak untuk balikan lagi, tetapi Natasya tidak mau lalu rupanya dia merencanakan menciderai Tasya, dengan menyiram air keras.”
“Hati saya hancur, kecewa, marah, melihat anak Perempuan saya diperlakukan dengan sangat biadab oleh Belly,” ujar Ibu Diah di depan Senator Senior asal Kalimantan Barat, Maria Goreti yang pada Rabu, 9 Juli 2025, membesuk Natasya.
Di depan kami, tampak wajah “Lelah” yang sudah enam bulan lebih meninggalkan kampungnya di Tumbang Titi, Ketapang, Kalimantan Barat.
Hari-harinya adalah menemani Tasya bersama satu Suster yang merawatnya sambil sekali-sekali kontrol ke RS Dr. Sardjito atau untuk menjalani rangkaian operasi pada wajah dan bagian tubuh yang lain.
“Saya sudah kehabisan air mata, juga kata kata. Peristiwa ini menghancurkan kami sekeluarga, menghacurkan tubuh Natasya, bukan hanya raganya, tetapi juga jiwanya," ujarnya.
"Tugas saya dan suster adalah bagaimana mengambalikan semangat hidupnya, memulihkan kembali harapan akan masa depannya, walapun saya sadar itu tidak mudah,” kata Diah sambil menerawang langit-langit balkon yang menjadi saksi bisu kesedihan seorang Ibu yang selama setengah tahun menyaksikan putrinya terbaring tak berdaya.
Hingga saat ini, Natasya sudah enam kali menjalani operasi untuk mengambil jaringan kulit yang mati lalu dilanjutkan operasi implan kulit.
Kulit bagian paha Sebagian akan diambil untuk menutup kulit bagian tangan yang sejenis, sementara kulit bagian wajah akan diambilkan kulit dari kepala, itulah mengapa perlu waktu panjang dan perawatan sangat rumit.
Kulit di bagian paha yang pakai untuk menutup bagian tangan perlu waktu untuk tumbuh Kembali.
Menurut suster perawat, setelah kulit yang tidak tumbuh jaringan itu dilepas kita akan adanya namanya dilakukan implan ditanam jaringan (kulit baru). Itu yang butuh waktu lama karena tidak mungkin, tidak sekali tanam itu jadi.
Sekarang fokusnya untuk pemulihan kulit yang terbakar akibat air keras. Terutama penanganan awal di daerah wajah.
"Banyaknya air keras yang tumpah ke muka Natasya, itu membuat kedua matanya, khususnya yang sebelah kiri, sampai saat ini belum bisa untuk dibuka," ujar ujar suster yang merawatnya.
Mata kanannya mungkin masih bisa diselamatkan, tetapi yang kiri mengalami luka serius. Dalam kunjungan kami, perawat selalu mengaak Tasya untuk merespons.
“Kakak, tuh banyak tamu, Tasya mau bilang apa” ujar suster perawat sambil membelai rambutnya yang sudah mulai tumbuh panjang.
Tasya hanya mengangguk sambil memberikan jempol karena hampir seluruh wajahnya ditutupi perban.
Sambil berbisik, “Saya mengucapkan terima kasih kepada pribadi-pribadi yang dengan cara masing-masing membantu meringankan beban kami, memberi tumpangan selama kami di Yogyakarta, memberikan dukungan untuk kesembuhan anak saya. Saya hanya berharap Natasya kembali pulih untuk melanjutkan hidupnya” ujarnya kepada kami.
Seorang ibu yang setia menemani putrinya menjalani masa-masa sulit, masa pemulihan yang entah sampai kapan.
Ada banyak hari ke depan sampai buah hatiya bisa pulih. Satu yang menjadi keyakinannya adalah “harapan”.
Harapan akan keajaiban bahwa Tuhan berkarya lewat banyak orang yang peduli, lewat teanga medis yang merawatnya, dan lewat doa para sahabat yang menguatkan.
“Semoga api harapan terus saya, keluarga hidupi untuk menemani hari-hari Tasya yang bagi ukuran kami manusia terasa menyesakkan, tak berujung, dan gelap. Semoga Tuhan memampukan kami,” ujar Diah sambil menyeka wajahnya dari genangan air mata.
Demikian dikisahkan oleh Thomas Diman, Alumni School of Government and Public Policy, Indonesia, yang merupakan Tenaga Ahli dari Anggota DPD RI/MPR RI Maria Goreti, Senator Senior asal Kalimantan Barat, yang memasuki periode kelima di Gedung Parlemen Indonesia. (*)